Minggu, 25 Desember 2011

PEMIMPIN DALAM PERSPEKTIF ALQUR'AN DAN HADITS


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
         Dalam suatu organisasi atau kelompok masyarakat selalu membutuhkan sosok seorang pemimpin. Sebuah keluarga membutuhkan pemimpin, bahkan untuk sholatpun dibutuhkan seorang pemimpin yang disebut sebagai imam. Imam berasal dari kata amama yang artinya di depan. Seorang pemimpin harus berdiri di depan untuk memperjuangkan tujuan maupun aspirasi kelompok/anggotanya.
     Manusia diciptakan oleh Allah dengan tugas utama adalah sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi. Untuk kepentingan itu, maka  Allah  membekali manusia dengan akal dan ilmu pengetahuan yang akan mendukung manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pemimpin. Tidak demikian terhadap makhluk lainnya, seperti malaikat, syetan dan jin yang tidak didesain untuk memimpin, maka Allah tidak menyiapkan mereka sebagaimana Allah menyiapkan manusia sebagai seorang pemimpin.
     Pembekalan Allah terhadap manusia sedemikian rupa mengisyaratkan bahwa tugas seorang pemimpin tidaklah ringan. Ia harus mampu mengemban amanat yang dibebankan ke bahunya. Namun, seiring perjalanan waktu dan sejarah anak manusia, apa yang diamanatkan oleh Allah SWT seringkali terabaikan oleh kepentingan hawa nafsu yang bersifat sementara tetapi memiliki dampak yang berkepanjangan dan menyengsarakan manusia itu sendiri karena telah menyimpang dari apa yang telah digariskan Sang Pemberi amanat (Allah SWT).
     Pemimpin yang mampu melaksanakan tugasnya dengan baik akan membawa kemaslahatan umat menuju masyarakat yang adil dan makmur. Tetapi jika pemimpin tidak mampu melaksanakan tugas yang telah diamanatkan kepadanya maka akan menjadikan umat yang terpuruk bahkan mengarah ke kehancuran sebuah masyarakat. Maka sikap hati-hati mutlak diperlukan ketika kita memilih seorang pemimpin.
     Al-qur’an telah memberikan rambu-rambu tentang pemimpin, tugas dan kewajibannya serta bagaimana seharusnya pemimpin berperilaku.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut dapat penulis uraikan rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.    Siapakah pemimpin itu?
2.    Bagaimana kriteria seorang pemimpin menurut Al-qur’an dan Hadits?
3.    Bagaimana tugas dan  kewajiban  seorang pemimpin menurut Al-qur’an dan Hadits?

C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui siapakah pemimpin itu.
2.    Untuk mengetahui kriteria pemimpin menurut Al-Qur’an dan Hadits.
3.    Untuk mengetahui tugas dan kewajiban pemimpin menurut Al-qur’an dan Hadits?








BAB II

PEMIMPIN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN  DAN HADITS


A.      Pengertian Pemimpin

       Dalam kamus bahasa Indonesia, pemimpin sering disebut ketua, kepala, pemuka, penghulu, raja atau pengurus. Memimpin berarti menggunakan peran seorang pemimpin untuk melaksanakan tugas-tugasnya, termasuk kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara untuk sampai pada suatu tujuan bersama.
      Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu atau beberapa tujuan. (Kartini Kartono, 1994 : 181).
       Dalam bahasa Inggris, pemimpin disebut leader, yang bertugas melead anggotanya. Adapun makna lead adalah sebagai berikut :
-          Loyality, yaitu kemampuan untuk membangkitkan loyalitas rekan kerjanya dalam kebaikan.
-          Educate, yaitu kemampuan mendidik, membimbing rekan-rekannya sehingga menguasai pengetahuan yang dibutuhkan.
-          Advice, yaitu kemampuan memberikan saran dan nasehat dari permasalahan yang ada.
-          Discipline, yaitu memberikan contoh menegakkan kedisiplinan dalam setiap aktifitasnya.
       Arti pemimpin tidak lepas dari makna kepemimpinan yaitu kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Robbin (2002: 163).  
       Sedangkan dalam Islam, pemimpin sering disebut sebagai khalifah, ulil amri, imam atau ro’in . Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 30:
Artinya:
     “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (pemimpin) di muka bumi......”
Surat an-Nisaa ayat 59 :
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu......”
     Dalam ruang lingkup yang lebih sempit setiap kita adalah pemimpin. Sebagaimana makna ra’in (penggembala)  yang berarti mengatur atau mengendalikan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Hadits Nabi  SAW:
 راع وكلكم  مسئول عن رعيته (متفق عليه) كلكم
Artinya:
     “ Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang ia pimpin.” (Mutafaq ‘alaih)
       Allah memberikan manusia mata, maka akan diminta pertanggung jawaban atas penggunaan mata kita ini. Begitupun Allah memberikan segala yang ada pada tubuh kita akan diminta pertanggung jawabannya, sebagaimana seorang pemimpi n yang telah diberi amanah, suatu saat nanti akan dimintai pertanggung jawabannya..
B.     Kriteria Seorang Pemimpin
     Ketika seseorang ditunjuk menjadi pemimpin maka sesungguhnya adalah diserahi tugas dan beban yang amat berat. Ia harus mampu melayani yang dipimpinnya (masyarakat) dengan baik serta bertanggung jawab, bukan hanya kepada masyarakatnya tetapi lebih-lebih di hadapan Allah SWT.
     Agar seorang pemimpin mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik maka pemimpin hendaklah orang yang memiliki kelebihan-kelebihan atau keistimewaan dibanding orang-orang yang dipimpinnya. Allah SWT memilih manusia menjadi khalifah karena manusia diberi kelebihan/keistimewaan dibanding makhluk lainnya. Beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah:
1.       Memiliki Pengaruh
       Seorang pemimpin harus  memiliki kelompok pendukung yang mendukungnya yang turut membesarkan nama sang pemimpin. Pengaruh ini menjadikan sang pemimpin diikuti dan membuat orang lain tunduk pada apa yang dikatakan sang pemimpin. Dengan pengaruhnya, sang pemimpin akan mudah memberikan suatu “komando” dan menyatukan visi untuk mencapai suatu tujuan bersama.
       John C. Maxwell, (penulis buku-buku kepemimpinan ) pernah berkata: “Leadership is Influence” (Kepemimpinan adalah soal pengaruh).

2.      Memiliki kekuatan atau power.
       Seorang pemimpin biasanya akan diikuti oleh orang lain karena dia
memiliki kekuatan/power yang membuat orang lain menghargai keberadaannya. Tanpa kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki sang pemimpin, tentunya tidak ada orang yang mau menjadi pendukungnya. Kekuatan / power yang dimiliki seorang pemimpin ini menjadikan orang lain akan tergantung pada apa yang dimiliki sang pemimpin, tanpa itu mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Hubungan ini menjadikan hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme, yaitu hubungan yang saling menguntungkan.

3.      Memiliki kesabaran
Firman Allah surat As-Sajdah ayat 24:
Artinya:
     “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
      Kesabaran yang dimaksud dalam ayat ini adalah kesabaran dalam menegakkan kebenaran dengan tetap komitmen menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah. Tentu bagi seorang pejabat tinggi, tetap komitmen dengan kebenaran membutuhkan mujahadah dan kesabaran yang jauh lebih besar karena akan berhadapan dengan pihak yang justru menginginkan tersebarnya kebathilan dan kemaksiatan di tengah-tengah umat. Kesabaran tersebut telah diberikan Allah kepada Rasul-Rasul-Nya sehingga mereka mendapat gelar ulul azmi (teguh pendirian/kesabaran yang luar biasa).
4.      Memiliki Keteladanan
Seorang pemimpin harus memiliki keteladanan, baik dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran maupun menyampaikan kebenaran dan kejujuran itu sekalipun pahit atau tidak menyenangkan (menyakitkan); “Katakanlah kebenaran itu sekalipun pahit.”
Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 21:
  Artinya:   
     “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
 Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, ciri utama tentang kepemimpinan ideal adalah bahwa para pemimpin itu senantiasa mengajak rakyatnya kepada jalan Allah dan kemudian secara aplikatif mereka memberikan keteladanan dengan terlebih dahulu mencontohkan pengabdian dalam kehidupan sehari-hari yang dicerminkan dengan menegakkan shalat dan menunaikan zakat, serta perilaku baik lainnya sehingga mereka termasuk kelompok ‘abid’ yang senantiasa tunduk dan patuh mengabdi kepada Allah SWT dengan merealisasikan ajaran-ajaranNya yang mensejahterakan.
5.      Memiliki ilmu pengetahuan yang luas
Seorang pemimpin harus memiliki ilmu pengetahuan yang lebih luas  paling tidak lebih luas dari yang dipimpinnya. Sebagaimana Allah memberi ilmu pengetahuan kepada Nabi Adam as lebih dari yang lain, karena Nabi Adam as memang dipersiapkan untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi.
Firman Allah surat al-Baqarah ayat 29 :
Artinya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"
Korelasi dari memiliki ilmu pengetahuan yang luas adalah sifat wajib Rasul Fatonah atau cerdas. Seorang pemimpin harus cerdas dan berwawasan luas sehingga mampu meningkatkan derajat dan martabat diri maupun yang dipimpinnya, terutama mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat/anggotanya. Jika seorang pemimpin tidak memiliki kemampuan untuk berpikir dan bekerja maka tunggulah saat kehancurannya.
Hadits Nabi SAW:
اذا ضيعت الا مانة فانتظرالساعة قال كيف اٍضاعتها يا رسول الله قال اٍذا اسند الامر اٍلى غير اَهله فانتظر الساعة
إِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَة  
قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ
فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Artinya:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? ' Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (BUKHARI - 6015)

C.    Tugas dan kewajiban seorang pemimpin.
1.      Menjaga dan melaksanakan amanah
     Jika seorang pemimpin itu telah dipilih oleh rakyatnya, maka ia harus memegang teguh amanah (kepercayaan) yang telah diberikan rakyatnya itu. Dan bila pemimpin yang dimaksud itu adalah setiap kita yang telah ditunjuk
Allah sebagai pemimpin di muka bumi ini, maka setiap kita berkewajiban menjaga apa yang sudah diamanahkan Allah kepada kita.
     Hadits Nabi SAW:
 عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
 Artinya:
Abu dzar berkata : ya rasulallah tidakkah kau memberi jabatan apa-apa kepadaku? Maka rasulullah memukul bahuku sambil berkata : “Hai abu dzar kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai  amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya.”
2.      Menegakkan keadilan
Menegakkan keadilan nyaris menjadi slogan semua yang mencalonkan diri  menjadi pemimpin terpilih. Tetapi dalam praktekkannya, sangatlah sulit menemukan pemimpin yang adil. Bahkan terhadap diri kita yang telah diberi amanah oleh Allah, ternyata sering kali kita berbuat dzalim. Tidak melaksanakan apa yang menjadi kehendak pemberi amanah. Padahal terkait dengan ini Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 90 :
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
3.         Melindungi  yang lemah.
Hubungan raja dengan rakyatnya hendaknya seperti hubungan orang tua dengan anaknya. Hubungan ini dimaksudkan hubungan untuk melindungi. Zainul Kamal, M.A (1992:141)
Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak dapat dipungkuri adanya yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin. Karena itu seorang pemimpin berkewajiban menjaga keharmonisan antara keduanya  agar tercipta suasana kehidupan yang damai dan seimbang.
QS. An-Nisa ayat 9 :

Artinya:
     “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

DOA DALAM PERSPEKTIF RASIONALISME


DOA DALAM PERSPEKTIF RASIONALISME
Oleh Imron Rosyadi, S.Pd.I
(Guru PAI MTs. Istiqomah Panguragan-Cirebon)    

       Doa berasal dari bahasa Arab “du’a” yang artinya meminta, memohon atau mengharap. Sholat juga berarti do’a karena di dalamnya mengandung kalimat-kalimat permintaan, permohonan atau harapan kepada Allah SWT. Lalu pernahkah kita berpikir atau bertanya, apakah doa-doa kita tersebut dikabulkan? Jika jawabannya ya, maka apakah sudah sesuai permintaan (doa)? Jika jawabannya belum atau tidak dikabulkan, maka pertanyaannya kenapa belum dan kenapa tidak dikabulkan? Bukankah Allah mendengar doa semua makluk-Nya?
Maka pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan kalimat ”mungkin doa kita belum memenuhi syarat-syarat doa yang dikabulkan sebagaimana yang sering diajarkan para ulama”.  
     Merujuk pada pengertian iman; membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dikerjakan dengan anggota badan, maka doa tidaklah sekedar  mengucapkan tetapi harus jujur dalam hati diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan angggota badan (perilaku).  Ketika kita minta makan maka harus ditunjukkan bahwa kita memang butuh dengan makan, yaitu ditunjukkan dengan wajah yang memang kelaparan, atau ditunjukkan dengan perilaku kita dengan mencari sesuatu di meja makan, misalnya. Maka orang akan percaya bahwa kita memang benar-benar butuh makan sehingga minta makan.
     Sebagai umat Islam, jika rejeki kita ingin dibukakan, maka dianjurkan untuk melakukan sholat dluha. Setelah sholat diakhiri dengan doa “.......jika rejeki itu masih ada di langit, maka turunkanlah, jika rejeki itu ada di dalam bumi maka keluarkanlah, jika masih sulit maka mudahkanlah.....”. Sayangnya, setelah semua itu kita ucapkan, kita lebih sering menunggu dan tidak melakukan apa-apa atas apa yang sudah kita panjatkan kepada Allah SWT. Kita lebih sering berpangku tangan sambil menunggu rejeki jatuh dari langit atau keluar dari bumi. Maka mungkinkah doa tersebut dikabulkan? Mari kita menyimak QS. Al-Ra’d ayat 11:
 Artinya:
“....Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri.....”    
       Ayat tersebut menyiratkan kepada manusia untuk mengedepankan usaha atau tindakan nyata yang sebelum maupun sesudahnya dipanjatkan doa. Maka dapat dipastikan doa tersebut akan menyambung sesuai dengan apa yang kita maksud di dalamnya. Dengan kata lain bahwa doa yang kita panjatkan harus kita buktikan dengan tindakan nyata. Karena hal yang sangat mustahil kita mengharap rejeki turun dari langit padahal kita tidak pernah ke langit, atau mengharap rejeki keluar dari bumi sementara kita tidak pernah mengelola bumi.
       Allah melengkapi manusia dengan akal (rasio, logika) karena Allah maha mengetahui apa yang dibutuhkan manusia yang telah ditetapkan sebagai khalifah di muka bumi. Kehidupan di muka bumi adalah hidup di alam nyata. Oleh karena itu segala sesuatunya harus dilakukan dengan tindakan yang nyata. Sudah saatnya umat Islam membuka mata untuk tidak berlindung di balik kata sabar untuk sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan dengan perbuatan nyata serta menggunakan kemampuan akal seluas-luasnya. Sudah sewajarnya manusia mengeksplor karunia Allah yang berupa akal. Karena setiap kali Allah memberikan pembelajaran kepada manusia yang mengharuskan manusia menggunakan akalnya. Simak saja bagaimana Allah menguraikan proses terbentuknya manusia dari sperma, darah yang menggumpal kemudian menjadi segumpal daging setalah itu ditiupkan ruhnya. Semua itu mengisyaratkan kita untuk berpikir menggunakan akalnya.
     Doa yang kita panjatkan seringkali tidak kita maknai dengan mengedepankan akal atau rasio (rasialisme). Sehingga seringkali kita terjebak dengan bersu’udzan kepada Allah karena merasa doa yang sekian kali kita panjatkan belum juga terkabulkan. Seolah-olah Allah tidak mendengar doa kita. Bagaimana mungkin kita mengabulkan permintaan anak kita yang minta motor  padahal usianya baru 2 tahun? Sekalipun kita mampu membeli sepuluh motor, maka tidak mungkin kita membelikan satu motor untuknya. Bagaimana Allah akan mengabulkan doa anak lelaki yang baru berusia delapan tahun jika permintaannya itu jodoh yang baik.
       Maka berdoalah sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita masing-masing. Jika kita seorang pegawai golongan III, maka memintalah sebatas ruang lingkup kemampuan golongan III. Jika kita seorang pedagang, maka berdoalah sebatas ruang lingkup kemampuan seorang pedagang. Jika kita seorang petani maka berdoalah sebatas ruang lingkup kemampuan seorang petani.  Begitulah seterusnya, sehingga kita akan merasa doa yang kita panjatkann akan dengan mudah dikabulkan Allah, karena Allah maha mendengar, maha pengasih dan maha penyayang.
     Wallahu a’lam bishowab.