DOA DALAM PERSPEKTIF RASIONALISME
Oleh Imron Rosyadi, S.Pd.I
(Guru PAI MTs. Istiqomah Panguragan-Cirebon)
Doa berasal dari bahasa Arab “du’a” yang artinya meminta, memohon atau mengharap. Sholat juga berarti do’a karena di dalamnya mengandung kalimat-kalimat permintaan, permohonan atau harapan kepada Allah SWT. Lalu pernahkah kita berpikir atau bertanya, apakah doa-doa kita tersebut dikabulkan? Jika jawabannya ya, maka apakah sudah sesuai permintaan (doa)? Jika jawabannya belum atau tidak dikabulkan, maka pertanyaannya kenapa belum dan kenapa tidak dikabulkan? Bukankah Allah mendengar doa semua makluk-Nya?
Maka pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan kalimat ”mungkin doa kita belum memenuhi syarat-syarat doa yang dikabulkan sebagaimana yang sering diajarkan para ulama”.
Merujuk pada pengertian iman; membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dikerjakan dengan anggota badan, maka doa tidaklah sekedar mengucapkan tetapi harus jujur dalam hati diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan angggota badan (perilaku). Ketika kita minta makan maka harus ditunjukkan bahwa kita memang butuh dengan makan, yaitu ditunjukkan dengan wajah yang memang kelaparan, atau ditunjukkan dengan perilaku kita dengan mencari sesuatu di meja makan, misalnya. Maka orang akan percaya bahwa kita memang benar-benar butuh makan sehingga minta makan.
Sebagai umat Islam, jika rejeki kita ingin dibukakan, maka dianjurkan untuk melakukan sholat dluha. Setelah sholat diakhiri dengan doa “.......jika rejeki itu masih ada di langit, maka turunkanlah, jika rejeki itu ada di dalam bumi maka keluarkanlah, jika masih sulit maka mudahkanlah.....”. Sayangnya, setelah semua itu kita ucapkan, kita lebih sering menunggu dan tidak melakukan apa-apa atas apa yang sudah kita panjatkan kepada Allah SWT. Kita lebih sering berpangku tangan sambil menunggu rejeki jatuh dari langit atau keluar dari bumi. Maka mungkinkah doa tersebut dikabulkan? Mari kita menyimak QS. Al-Ra’d ayat 11:

Artinya:
“....Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri.....”
Ayat tersebut menyiratkan kepada manusia untuk mengedepankan usaha atau tindakan nyata yang sebelum maupun sesudahnya dipanjatkan doa. Maka dapat dipastikan doa tersebut akan menyambung sesuai dengan apa yang kita maksud di dalamnya. Dengan kata lain bahwa doa yang kita panjatkan harus kita buktikan dengan tindakan nyata. Karena hal yang sangat mustahil kita mengharap rejeki turun dari langit padahal kita tidak pernah ke langit, atau mengharap rejeki keluar dari bumi sementara kita tidak pernah mengelola bumi.
Allah melengkapi manusia dengan akal (rasio, logika) karena Allah maha mengetahui apa yang dibutuhkan manusia yang telah ditetapkan sebagai khalifah di muka bumi. Kehidupan di muka bumi adalah hidup di alam nyata. Oleh karena itu segala sesuatunya harus dilakukan dengan tindakan yang nyata. Sudah saatnya umat Islam membuka mata untuk tidak berlindung di balik kata sabar untuk sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan dengan perbuatan nyata serta menggunakan kemampuan akal seluas-luasnya. Sudah sewajarnya manusia mengeksplor karunia Allah yang berupa akal. Karena setiap kali Allah memberikan pembelajaran kepada manusia yang mengharuskan manusia menggunakan akalnya. Simak saja bagaimana Allah menguraikan proses terbentuknya manusia dari sperma, darah yang menggumpal kemudian menjadi segumpal daging setalah itu ditiupkan ruhnya. Semua itu mengisyaratkan kita untuk berpikir menggunakan akalnya.
Doa yang kita panjatkan seringkali tidak kita maknai dengan mengedepankan akal atau rasio (rasialisme). Sehingga seringkali kita terjebak dengan bersu’udzan kepada Allah karena merasa doa yang sekian kali kita panjatkan belum juga terkabulkan. Seolah-olah Allah tidak mendengar doa kita. Bagaimana mungkin kita mengabulkan permintaan anak kita yang minta motor padahal usianya baru 2 tahun? Sekalipun kita mampu membeli sepuluh motor, maka tidak mungkin kita membelikan satu motor untuknya. Bagaimana Allah akan mengabulkan doa anak lelaki yang baru berusia delapan tahun jika permintaannya itu jodoh yang baik.
Maka berdoalah sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita masing-masing. Jika kita seorang pegawai golongan III, maka memintalah sebatas ruang lingkup kemampuan golongan III. Jika kita seorang pedagang, maka berdoalah sebatas ruang lingkup kemampuan seorang pedagang. Jika kita seorang petani maka berdoalah sebatas ruang lingkup kemampuan seorang petani. Begitulah seterusnya, sehingga kita akan merasa doa yang kita panjatkann akan dengan mudah dikabulkan Allah, karena Allah maha mendengar, maha pengasih dan maha penyayang.
Wallahu a’lam bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar